Januari 1970, sekelompok hippies sedang bersantai di tengah padang gurun California yang panas. Tampaknya mereka tinggal di dalam sebuah trailer kecil disana. Alunan musik mengiringi aktivitas mereka di hari yang terik tersebut Sekelompok pria tengah melontarkan batu dari katapel miliknya, mencoba menghancurkan sebuah jam tua yang kondisinya sudah dimakan jaman. Seorang wanita muda, dengan antusias membuka bajunya, menunjukkan payudaranya yang dihiasi motif floral berwarna-warni, pria muda lainnya merespon dengan mengangkat kuas, hendak menyelesaikan karya seninya di tubuh wanita cantik tersebut. Wanita muda lainnya, dengan sigap mempersiapkan hidangan bagi mereka semua. Rambutnya yang pirang berdansa mengikuti alunan musik pop tersebut. Tiba-tiba ia berteriak,”Hei, jangan pergi jauh-jauh!” Seorang anak kecil mengiyakan dengan tergesa – gesa. Ia berlari agak jauh menuju semak - semak, lalu buang air kecil disana.Ketika sedang asyik melakukan aktivitasnya, seekor ular besar berwarna coklat menggeliat di dekatnya, seketika ia menangis sekeras mungkin. Pria muda yang sedang asyik melukis tadi bergegas berlari untuk menolongnya. Sesampainya disana, ular tadi sudah tidak tampak lagi. Namun dari kejauhan, sosok berjanggut panjang dengan rambut tak terurus dengan lunglai menghampiri mereka. Sekujur tubuhnya kotor dan berantakan, jubahnya, yang seakan - akan berasal dari jaman pertengahan, dipenuhi dengan debu dan kotoran hingga tak terlihat lagi warna aslinya. Dengan segera, pria tadi mengajak sosok misterius tersebut untuk beristirahat. Sekelompok hippies tadi menyambut sosok misterius tadi dengan hangat, tak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa di malam harinya, sosok misterius itu adalah algojo yang mencabut nyawa mereka semua satu persatu untuk dijadikan persembahan bagi sang iblis.
Jerman, 1991. Miriam Kriesl (Kelly Curtis) hampir saja menabrak seorang pria tua ketika sedang menyetir. Sempat panik karena melihat pria tersebut terkapar tanpa ada gerakan sama sekali, wanita muda yang juga seorang guru TK itu semakin dibuat bingung karena pria tua tadi terkesan tidak peduli dengan kejadian tersebut. Pria tersebut memegang sebuah paket yang hampir tidak pernah lepas dari pelukannya. Miriam menawarinya untuk beristirahat di rumahnya, tanpa menghiraukan sikap aneh yang terus diperlihatkan pria tadi. Ketika malam tiba, saat Miriam sedang terlelap, pria misterius tadi masuk ke dalam kamarnya, dan melakukan ritual aneh dengan memasukkan seekor serangga ke dalam hidung Miriam. Miriam tidak menyadari hal tersebut, namun tak lama setelah serangga itu masuk ke dalam dirinya, ia mendapatkan mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia akan melahirkan seorang anak, dan setelah itu, ia akan dimangsa oleh seekor bangau. Mimpi buruk tadi merupakan pertanda dari serentetan peristiwa aneh dan mengerikan yang akan terus mengejarnya mulai dari detik itu.
Begitulah kira-kira sinopsis tentang The Sect / La setta / The Devil's Daughter, film ketiga arahan Michele Soavi (The Church, Stage Fright), sutradara yang di awal kariernya sering bekerjasama dengan salah satu sutradara spesialis film horor dan giallo, Dario Argento (Suspiria, Trauma, Deep Red). Influence salah satu legenda hidup industri horor Itali ini terasa sangat kental disini, terutama karena ia juga terlibat sebagai salah satu produser dan penulis naskahnya. Sama seperti film- film Argento, The Sect diselimuti dengan kualitas visual yang sangat menarik, namun juga diisi dengan gaya bercerita yang tidak koheren. Berbicara soal cerita, saya sengaja memberikan sinopsis secara detail tentang bagian – bagian tersebut, karena cerita sehabis sinopsis diatas, dapat dilukiskan sebagai sebuah benang hitam yang kusutnya sedemikian akut, hingga sangat sulit untuk diluruskan kembali. Adegan demi adegan dipaksakan menyatu agar membentuk akhir cerita yang sebenarnya justru semakin membingungkan. Karena itu, rasanya akan lebih tepat untuk menyebut film ini sebagai serangkaian mimpi buruk yang menyeramkan. Sebenarnya, ide cerita dari Argento sendiri tidaklah buruk. Cerita tentang sekelompok anggota sekte yang memburu seorang wanita muda ini sebenarnya dapat dikemas menjadi lebih baik dan menarik, hanya saja, ketika mereka memaksa untuk memasukkan unsur- unsur surreal disini, hasilnya justru malah merusak film itu sendiri. Entah apa yang ada di dalam pikirannya ketika mencoba memasukkan unsur Alice in the Wonderland lewat kelinci putih yang menjadi obsesi dari Miriam, dan membuat kelinci tersebut mahir mengganti remote TV.
Berbicara soal mimpi, tampaknya Soavi lebih senang untuk bermain di wilayah visual film ini. Cerita yang secara logika terlihat berantakan, dikemas secara artistik lewat permainan warna dan angle sehingga memberikan kesan bahwa ia sengaja mengkonsepkan The Sect seperti sebuah khayalan indah yang juga mencekam. Saya sendiri lebih suka untuk melihat film ini dari sudut pandang seperti itu, ketimbang mesti bersusah payah menguraikan ceritanya yang membingungkan. Bisa dibilang, visualnya-lah yang menyelamatkan film ini dari kegagalan total.
Jika dibandingkan dengan film – film yang lain, The Sect mungkin masuk dalam daftar film terburuk yang pernah dibuatnya. Beberapa fans mungkin akan menunjuk Argento sebagai kambing hitam kegagalan film ini, mengingat setelah produksi ini, Michele Soavi mendapat kesempatan untuk bekerja sendiri, dan ia menghasilkan Dellamorte Dellamore, film zombie dengan kualitas yang jauh lebih baik ketimbang film –filmnya bersama Argento terdahulu. Terlepas dari semua itu, The Sect tetap bisa menjadi sebuah film yang menarik, terutama bagi anda yang gemar dimanjakan dengan teknik visual yang indah dan tidak biasa, tanpa menghiraukan sisi logika dari ceritanya.
No comments:
Post a Comment